Jumat, 20 April 2012

Pudarnya Sebagai Mahasiswa


MEMUDARNYA GERAKAN MAHASISWA
DALAM MEMBELA NEGARA

Abstrak
Globalisasi merupakan suatu keadaan yang menggambarkan peta dunia yang tanpa batas, inilah suatu tantangan bagi semua negara untuk saling berlomba memantapkan jati dirinya. Indonesia sebagai negara yang berdaulat juga dituntut untuk berperuilaku yang sama dengan bangsa lainnya, tanpa melakukan aktivitas itu, maka identitas bangsa akan larut sekaligus memudarkan semangat patriotisme generesai mudanya. Memudarnya semangat patriotic identik dengan lenyapnya suatu negara secara perlahan, dan pada akhirnya hilanglah nama Indonesia sebagai negara.
Kata kunci: Membela Negara, Gerakan Mahasiswa

Potret Mahasiswa Masa Kini
Sangat miris apabila menyaksikan tayangan media akhir-akhir ini….teriakan lantang dengan semangat berapi-api meneriakkan idealisme demokrasi itu berubah menjadi teriakan tak terkendali penuh emosi. Tak ada lagi pemuda-pemuda idealis pembela rakyat dengan cara-cara santun dan terpelajar…kini yang ada hanya anarkisme tanpa tahu malu.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan kaum terpelajar di negara ini????
Baru-baru ini muncul kasus tentang naiknya BBM pada bulan ini, anarkisme mahasiswa vs aparat keamanan di seluruh Indonesia melakukan demo besar-besaran. Mahasiswa dan polisi saling melempar batu….saling adu kekuatan fisik hingga menelan korban…latar belakang munculnya kasus ini adalah penolakan kenaikan BBM tersebut…..tapi yang membuat miris adalah apa tidak ada cara yang lebih terpelajar untuk menyampaikan penolakan atau pendapat…… apa guna kata mahasiswa melekat di pundak mereka (atau mungkin kita)….
Aksi-aksi anarkis dan saling menjatuhkan lawan tanpa ada rasa belas kasihan serta tanpa menghasilkan solusi ini merupakan ceriminan
Fenomena diatas sebenarnya menjadi evaluasi besar bagi setiap gerakan mahasiswa baik yang berkuasa ataupun tidak. Mahasiswa yang seharusnya merupakan symbol kaum idealis telah berubah menjadi segerombolan kaum pragmatis yang haus akan kekuasaan. Mahasiswa yang seharusnya meneriakkan keadialan dan kebenaran kini tanpa sadar telah melakukan penghianatan.
                Kemudian kita berfikir bagaimana kelak ketika mereka sudah lulus kuliah dan menduduki jabatan-jabatang strategis dalam masyarakat dan pemerintah. Saya fikir mereka dapat bertindak lebih bejat dari apa yang telah diperbuat birokrat saat ini.
Begitulah repotnya ketika anak muda mendapat kekuasaan,  pola fikir yang belum matang kerap membuatnya bertindak sporadis. apa lagi dalam rangka mempertahankan kekuasan maka berbagai cara akan difatwakan halal untuk dilaksanakan. dan akibatnya kekuasaan tersebut menjadikan mereka berfikir elitis dan tidak lagi berbicara kaderisasi.
Oleh karenanya saya fikir gerakan mahasiswa harus menata ulang paradigma berfikir secara radikal. Pragmatisme kekuasaan dan sikap elitis telah memunculkan benih-benih kehancuran pada tubuh gerakan mahasiwa. Untuk meluruskan kembali asholah gerakan diantaranya dengan menggarap secara serius kaderisasi. Karena kaderisasi adalah tulang punggung gerakan. Lewat kaderisasi kader-kader akan dilatih tentang kebenaran, keberanian, dan idealisme.
Yang kedua secara eksternal gerakan mahasiswa harus mempunyai sikap dan pandangan yang jelas. Menempatkan gerakan pada posisi ekstra parlementer adalah pilihan tepat agar gerakan tetap murni, utuh dan independent. Politik ektraparlemter secara praksis akan membawa gerakan pada sikap netral tanpa tunggangan elit politik.
Secara umum gerakan mahasiswa saat ini harus meluruskan kembali perannya sebagai pengawal reformasi, pengawal setiap kebijakan pemerintah, lantang meneriakkan kebaneran dikala pemerintah melakukan pengkhianatan terhadap rakyat. Hingga Kemudian independensinya akan mendidik mereka agar mempunyai gagasan segar dan aplikatif. gagasan yang muda beda dan berbahaya.
Namun, akan menjadi lebih baik ketika seorang mahasiswa memiliki kemauan untuk berjuang bagi bangsa dan studinya. Karena studi menjadi modal dalam rangka menjadi penerus bangsa ini. Nasionalisme tidak hanya diwujudkan melalui keikutsertaan seseorang dalam suatu peperangan demi mempertaruhkan harga diri bangsanya. Hal-hal lain yang dapat diwujudkan diantaranya, mencinta produk-produk dalam negeri dan menggunakan produk-produk tersebut dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
            Berdasarkan fakta, beberapa mahasiswa yang belajar di luar negeri, kembali lagi ke negeri ini demi membenahi sistem yang ada di negara kita. Namun, sangat memprihatinkan ketika melihat mahasiswa Indonesia, tak ingin kembali ke negaranya. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Tentunya banyak faktor yang manjadi penyebabnya, diantaranya, karena mereka sudah terlena dengan situasi yang membuat diri mereka nyaman di luar sana, belajar di luar negeri merupakan cita-cita mereka sehingga akhirnya mereka bertekad untuk mendapat pekerjaan pula disana dengan gaji yang cukup tinggi, dan lain sebagainya.
            Di era seperti ini, jiwa nasionlisme mahasiswa semakin memudar. Sedikit mahasiswa yang sadar akan pentingnya keberadaan mereka demi bangsa yang ditinggalinya. Bangsa yang telah dianugerahkan oleh Tuhan untuk dikelola dan dijaga, bukan untuk dibiarkan dan ditempati sesuka hati. Melirik satu kasus yang terjadi di bangsa ini, misal: PT. Freeport. Perusahaan yang saat ini dipegang oleh negara asing, telah merugikan banyak pihak di Indonesia, tertutama Provinsi Papua. Kemanakah orang-orang cerdas yang mau berjuang untuk mengelola kekayaan di provinsi ini?
            Disisi lain mungkin ada yang berpendapat, ”negara saya belum memberikan apa-apa terhadap diri saya, buat apa saya susah-susah memikirkan negara saya?”. Sungguh sangat disayangkan, karena bukan apa yang seharusnya negara sudah berikan, melainkan apakah yang sudah kita berikan terhadap negara kita?     
            Memang sulit untuk terus menumbuhkan jiwa nasionalisme mahasiswa Indonesia saat ini. Namun, tidak ada salahnya ketika kita mulai dengan diri sendiri. Dengan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan, bukan dengan hal besar yang terus kita bayangkan namun tak pernah ada realisasinya dan hanya membuang pikiran kita saja.

Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia
Gerakan mahasiswa di hampir seluruh indonesia yang menentang keputusan pemerintah yang berencana akan menaikan  BBM awal april 2012, akhirnya tidak berhasil menekan DPR untuk tidak mengubah pasal 7 ayat (6) UU APBN sehingga rencana kenaikan harga BBM hanya ditunda pelaksaannya. Saya yakin bahwa perjuangan mahasiswa masih akan terus bergejolak.  Peristiwa Ini kembali mengingatkan saya tentang  perjuangan mahasiswa meruntuhkan rezim Soeharto, ditengah era reformasi yang menggeliat. Pre­siden seumur hidup itu berhasil ditumbangkan oleh sang orator ulung pada tahun1998, siapa lagi kalau bukan mahasiswa. Berikut adalah sejarah  pergerakan mahasiswa di Indonesia :
1908
Pemuda-pelajar-mahasiswa mendirikan organisasi modern yang diberi nama Boedi Oetomo di Jakarta pada tanggal 20 mei 1908. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk  Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Kehadiran Boedi Oetomo pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chaerul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan Peristiwa Rengasdengklok.
1966
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru. 
Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. pada masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie.
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karen Golkar dinilai curang.
·         Gerakan menentang pembangunan TMII pada1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
1977-1978
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Surabaya, Ujungpandang (sekarang Makasar), dan Palembang.  28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!" Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.
1990
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR-MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejaya, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II.

Peran Mahasiswa Dalam Membela Negara
MAHASISWA selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu tampil sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk melahirkan perubahan. Oleh karena itu kiranya sudah cukup mendesak untuk segera dilakukan penataan seputar kehidupan mahasiswa tersebut.
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam kelas menengah yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di masyarakat. Bahkan di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling terdidik yang harus diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan Indonseia ke gerbang kemerdekaannya.
Pergolakan dan perjalanan mahasiswa Indonesia telah tercatat dalam rentetan sejarah yang panjang dalam perjuangan bangsa Indonesia, seperti gerakan mahasiswa dan pelajar tahun 1966 dan tahun 1998. Masih dapat kita ingat 8 tahun yang lalu gerakan mahasiswa Indonesia yang didukung oleh semua lapisan masyarakat berhasil menjatuhkan suatu rezim tirani yaitu ditandainya dengan berakhirnya rezim Soeharto.
Legenda perjuangan mahasiswa di Indonesia sendiri juga telah memberikan bukti yang cukup nyata dalam rangka melakukan agenda perubahan tersebut. Tinta emas sejarahnya dapat kita lihat dengan lahirnya angkatan ‘08, ‘28, ‘45, ‘66, ‘74, yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri tetapi tetap pada konteks kepentingan wong cilik. Terakhir lahirlah angkatan bungsu ‘98 tepatnya pada bulan Mei 1998 dengan gerakan REFORMASI yang telah berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan dan selanjutnya menelurkan Visi Reformasi yang sampai hari ini masih dipertanyakan sampai dimana telah dipenuhi.
Dengan demikian adalah sebuah keharusan bagi mahasiswa untuk menjadi pelopor dalam melakukan fungsi control terhadap jalannya roda pemerintahan sekarang. Bukan malah sebaliknya.
Agenda reformasi adalah tanggung jawab kita semua yang masih merasa terpanggil sebagai kaum intelektual, kaum yang kritis dan memiliki semangat yang kuat. Dan tanggung jawab ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Bukan orang-orang kerdil yang hanya memikirkan perut, golongannya dan tidak bertanggung jawab. Hanya lobang-lobang kematianlah yang mampu menjadikan mereka untuk berpikir bertanggung jawab. Jangan pikirkan mereka, mari pikirkan solusi untuk menghibur Ibu Pertiwi yang selalu menangis dengan ulah-ulah anak bangsanya sendiri.
Kondisi tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing.
Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.
Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran konservatif pro-status quo harus dihindari.
Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dimungkiri, mahasiswa sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.
Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.
Peran Lembaga Kemahasiswaan cukup signifikan, baik untuk lingkup nasional, regional maupun internal kampus itu sendiri. Ke depan, peran strategis ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi.
Secara garis besar, menurut Sarlito Wirawan, ada sedikitnya tiga tipologi atau karakteristik mahasiswa yaitu tipe pemimpin, aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama, tipologi mahasiswa pemimpin, adalah individu mahasiswa yang mengaku pernah memprakarsai, mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes mahasiswa di perguruan tingginya. Mereka itu umumnya memersepsikan mahasiswa sebagai kontrol sosial, moral force dan dirinya leader tomorrow. Mereka cenderung untuk tidak lekas lulus, sebab perlu mencari pengalaman yang cukup melalui kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua, tipologi aktivis ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif turut dalam gerakan atau aksi protes mahasiswa di kampusnya beberapa kali (lebih dari satu kali). Mereka merasa menyenangi kegiatan tersebut, untuk mencari pengalaman dan solider dengan teman-temannya. Mahasiswa dari kelompok aktivis ini, juga cenderung tidak ingin cepat lulus, namun tidak ingin terlalu lama. Mereka tidak terlalu memersepsikan diri sebagai leader tomorrow namun pengalaman hidup perlu dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu jumlah mereka itu lebih banyak daripada kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa biasa adalah kelompok mahasiswa di luar kelompok pemimpin dan aktivis yang jumlahnya paling besar lebih dari 90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-hura yaitu kegiatan yang dapat memberikan kepuasan pribadi, tidak memerlukan komitmen jangka panjang dan dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama. Mereka ingin segera lulus, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang tidak segan-segan dengan cara menerabas (nyontek, membuat skripsi "Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini merupakan indikator kurangnya dorongan prestatif di kalangan mahasiswa, masih perlu diteliti.
Fakta membuktikan, dinamika kehidupan bangsa dan mahasiswa pada umumnya banyak dimotori oleh tipe pemimpin dan aktivis ini. Meskipun secara kuantitas kecil tetapi mereka mampu menjadi pendorong dan agen utama perubahan dan dinamika kehidupan kampus. Sebagian mereka karena telah terlatih menjadi pemimpin dan aktivis, maka tidak sulit setelah selesai pada akhirnya mereka juga menjadi pemimpin dan aktivis setelah terjun di masyarakat dan pemerintahan.
Peristiwa  tersebut memberikan pembelajaran kepada bangsa Indonesia, bahwa membela negara tidak hanya mengangkat senjata, tetapi lebih kepada menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara merupakan hal yang paling hakiki.